BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Hukum perjanjian
sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan
batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum
perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan
janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama
lain untuk melakukan suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan
suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada
masing-masing pihak untuk memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing
pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
hukum perjanjian akan menimbulkan hukum perikatan. Artinya tidak akan ada
kesepakatan yang mengikat seseorang jika tidak ada perjanjian tertentu yang
disepakati oleh masing masing pihak.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai hukum perjanjian
antara lain meliputi persoalan:
1. Hubungan antara perjanjian
dan perikatan
2. Sistem terbuka dan asas
konsensualitasdalam hukum perjanjian
3. Syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian
4. Kebatalan dan pembatalan
suatu perjanjian
5. Lahir dan hapusnya suatu
perjanjian
1.3 TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan
masalah diatas maka dapat dicapai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui hubungan antara perjanjian dan perikatan
2. Untuk
mengetahui sistem terbuka dan asas konsensualitasdalam hukum perjanjian
3. Untuk
mengetahui syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
4. Untuk
mengetahui kebatalan dan pembatalan suatu perjanjian
5. Untuk
mengetahui lahir dan hapusnya suatu perjanjian
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum Perjanjian
- Standar
Kontrak
Pengertian
adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis
berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk
ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para
konsumen (Johannes Gunawan) perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir (Mariam Badrulzaman)
Perjanjian baku
adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun yang
menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu secara
sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lain
untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam
Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus :
1. Kontrak standar umum artinya
kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan
kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya
kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk
para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Ø Jenis-Jenis Kontrak Standar
Ditinjau dari segi pihak mana yang
menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan kepada
konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a.
kontrak standar yang isinya
ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.
kontrak standar yang isinya
merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c.
kontrak standar yang isinya
ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau
dari format atau bentuk suatu kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapat
dibedakan dua bentuk kontrak standar, yaitu:
a.
kontrak standar menyatu;
b.
kontrak standar terpisah.
Ditinjau
dari segi penandatanganan perjanjian dapat dibedakan, antara:
a. kontrak
standar yang baru dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b. kontrak
standar yang tidak perlu ditandatangani saat penutupan.
Ø Pengertian Perjanjian
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita melihat pasal 1313 KUHPdt,
yaitu “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal
ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan.
Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti :
(a) Hanya
menyangkut sepihak saja
Hal
ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya
perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
(b) Kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam
pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) yang tidka
mengandung suatu konsensus. Seharusnya pakai kata “persetujuan”.
(c) Pengertian
penjanjian terlalu luas.
Pengertian
perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal
yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta
kekayaan saja.
(d) Tanpa
menyebut tujuan
Dalam
perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga
pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Atas
dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa
yang dimaksud dengan perjanjian. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka
“perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Hukum yang
mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract).
Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat
perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian.
Perjanjian
yang dibuat dapat berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk
tertulis berupa suatu akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta)
biasanya untuk kepentingan pembuktian, misalnya polis pertanggungan.
Apabila
diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, tersimpulah unsur-unsur
perjanjian itu seperti:
(a) Ada
pihak-pihak, sedikitnya dua orang
Pihak-pihak
ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini dapat berupa manusia
pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus mampu atau wenang
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
(b) Ada
persetujuan antara pihak-pihak itu
Persetujuan
disini bersifat tetap, bukan sedang berunding. Perundingan itu adalah
tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.
Persetujuan iyu ditunjuakan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.
Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.Yang
ditawarkan adalah yang dirundingkan dan umumnya mengenai syarat-syarat
perjanjian.
(c) Ada
tujuan yang akan dicapai
Tujuan
mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak itu,
kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jiak mengadakan perjanjian dengan pihak
lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
(d) Ada
prestasi yang akan dilaksanakan
Dengan
adanya persetujuan, maka timbullah kewajiabn untuk melaksanakan suatu prestasi.
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual
berkewajiban menyerahkan barang.
(e) Ada
bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Bentuk
ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan undang-undang bahwa hanya dengan bentuk
tertentu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentum
tertentu itu biasanya berupa akta. Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan,
artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh
pihak-pihak, itu sudah cukup. Kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya
dibuat secara tertulis (akta).
(f) Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat
tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat
itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat-syarat ini
biasanya terdiri dari syarat pokokyang akan menimbulkan hak dan kewajiban
pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya dan juga syarat pelengkap atau
tambahan, misaknya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan
lain-lain.
2. Macam-Macam Perjanjian
(A) Perjanjian Timbal Balik Dan Perjanjian
Sepihak.
Perjanjian timbal balik (bilateral
contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban
kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling
umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian jual-beli,
sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar.
Perjanjian sepihak
adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada
pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban
menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain berhak menerima
benda yang diberikan itu.
Yang
menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah
pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak
maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk
menghuni rumah.
Pembadaan
ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal pemutusan perjanjian
menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah satu syarat adalah pemutusan
perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik.
(B) Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Dengan
Alas Hak Yang Membebani.
Perjanjian percuma adalah
perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya
perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan alas hak yang
membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari pihak yang satu
selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra
prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat
potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang, jika B
menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A.
Pembedaan
ini mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan
mengenai perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal
1341 KUHPdt).
(c) Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan
sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya
jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama
adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d) Perjanjian kebendaan dan perjanjian
obligator
Perjanjian
kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini
sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah
perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak
dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual
berhak atas pembayaran harga.
Pentinganya
pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah perjanjian itu ada penyerahan
(levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum
atau tidak.
(e) Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian
konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak
antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya,
misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal
1694, 1740, dan 1754 KUHPdt).
Dalam
hukum adat, perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat
hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum (perjanjian) yang objeknya benda
tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjdi
peralihan hak. Hak ini disebut “kontan atau tunai”.
3.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Bagaimana
syarat sah suatu perjanjian?
Berdasarkan
pasal 1320 Kitap Undang-Undang
Hukum
Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah secara hukum, yaitu:
Terdapat
kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran
tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah
pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan;
kedua
belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam
keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak tertentu yang bisa membatalkan
perjanjian tersebut;
terdapat
suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan
objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati
merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus
“cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau
“akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
:
- orang-orang
yang belum dewasa
- mereka
yang ditaruh didalam pengampunan
- orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Dari
sudaut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan
“terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi
benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.
Dedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu
perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus
seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Orang
yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul
oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah
pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Ia berada dibawah kekuasaan pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak
yang belum dewasa. Kalau seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh
orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan
harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut kitab Undang-undang Hukum
Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab
Undang-undang Hukum Perdata).
Untuk perjanjian-perjanjian
mengenai soal-soal kecil yang dapat dimasukan dalam pengertian “keperluan
rumah-tangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh suaminya. Dengan
demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan orang-orang yang tidak
cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum
dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh orang tua/wali, sedangkan
seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau seorang dalam membuat
suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia tidak membuat perjanjian
itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini berarti bahwa ia bertindak
sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan
tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis.
Dan terdapat syarat perjanjian objektif dan
subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif, maka kalau syarat itu tidak
terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu
perkaitan hukum adalah gagal. Dengan
demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Dalam hal syarat subjektif maka
jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah
satu pihka mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak
yang meminta pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberi kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya
itu mengikat juga, selama tidak
dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan tadi.
Dengan demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung
pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
4.
Saat
Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, sesuai
perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara
kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah
suatu pesesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut . apa yang
dikehendaki oleh pihak satu adalah yang dikehendaki oleh pihak lainnya,
meskipun tidak sejurusan tapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu
satu sama lain.
Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah
telah dilahirkan suatu perjanjian dan
bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah tercapai
kesepakatan tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu.
Menurut ajaran yang paling tua,
harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak.
Apabila kedua belah pihak itu
berselisih, tak dapat dilahirkan suatu perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Artinya, apabila obyek hukum yang
dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum
perjanjian tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak
mempunyai dasar penuntutan di hadapan hakim.
Akan tetapi, apabila hukum
perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada
dalam pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat
dibatalkan di hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat
kedua belah pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing
pihak telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)?
Terdapat langkah pasti yang bisa
mengatasi persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan
dimintai tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan melanggar
perjanjian.
Pihak
yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal sebagai berikut.
mengganti
kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya;
materi
perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak atau di hadapan hakim;
mendapatkan
peralihan resiko; dan
membayar
seluruh biaya perkara apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukannya ke muka
hakim.
5.
Pembatalan
Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
·
Pembatalan suatu perjanjian
Dalam
syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila
syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and
void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian
dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang
mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu
menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau
perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan
batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak
yang memberikan perijinan atau
menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang ada
kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah
kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum
terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai
syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan
apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang
demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.
Dalam
hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidaak bebas, yaitu
Pemaksaan
adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau
badan.
·
Kehilafan atau Kekeliruan, Apabila salah
satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
·
Penipuan, Apabila satu pihak dengan
sengaja memberikan keterangan –keterangan palsu atau tidak benar disertai
dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk membujuk para lawannya
memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya.
Dengan
demikian maka ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian
dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak
yang tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan
perjanjiannya. Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang
tersebut tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada
satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan.
Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam hal ketidak-cakapan
suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam hal paksaan, sejak hari
paksaan itu telah berhenti. Dalam hal
kehilafan atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu.
Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan
selaku pembela atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada
dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang
berkepentingan dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin
untuk mempbatalkan perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim
untuk memenuhi perjanjian tersebut.
Terhadap azas konsensualitas yang
dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya
yaitu, oleh Undang-undang ditetapka suatu formalitas untuk beberapa macam
perjanjian, misalnya perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan
dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain
sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau
bentuk cara tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag
demikian itu tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka
ia adalah batal demi hukum.
·
Pelaksanaan suatu perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi
menjadi tiga macam:
1)
Perjanjian untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya:
jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa,
pinjam-pakai.
2)
Perjanjian untuk berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk
membuat garansi, dan lain-lain.
3)
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebaginya.
Suatu
persoalan hukum dalam hukum perjanjian
ialah persoalan apakah jika si berhutang atau si debitur tidak menepati
janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang
dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk
mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut
peranjian. Jika itu terjadi, kemungkinan perjanjian tadi dapat dieksekusi
secara rill.
Perjanjian
untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat
dijalankan secara rill, asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting
oleh siapa perbuatan itu dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang
dapat dengan mudah dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu
adalah lukisan, perbuatan itu dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis
yang menjanjikan sebiuh lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat
pribadi , tidak dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi
melakukan hal tersebut tidak menepati janjinya.
Perjanjian
memberikan barang tertentu (artinya barang yang telah disetujui atau dipilih),
dapat dikatakan bahwa ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi
rill itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang
tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin
dilakukan.
Untuk
melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan
cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan Undang-undang.
Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan-aturan yang
terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam adat kebiasaan, sedangkan
kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus diindahkan.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang saya buat, semoga apa yang saya sampaikan dalanm makalah ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya, maupun bagi teman-teman sekalian. Saya
menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan, baik
dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun saya harapkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya, semoga
dapat bermanfaat. Amin.
KESIMPULAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang atau satu
pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua orang/dua pihak ituv
saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan
perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara
dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk menuntutr barang sesuatu
darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun
melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat
mereka yang mengakibatkan dirinya
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu
hal tertentu
4. Suatu
sebab yang halal
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar